Jakarta. 14 Oktober 2024. Anda yang ingin mengubah pola makan agar hidup lebih sehat mungkin mencari panduan dari berbagai sumber tepercaya. Sejumlah institusi, termasuk Food and Agriculture (FAO) dan Kementerian Kesehatan, memang menerbitkan panduan makan sehat yang sifatnya general.
Menyambut Hari Pangan Sedunia yang jatuh pada 16 Oktober, Eathink juga merilis panduan bernama SELARAS (Seimbang, Lokal, Alami, Beragam, Sadar). Kenapa menggagas panduan lagi, sementara di luar sudah banyak terdapat rekomendasi soal makan sehat?
“Ada celah yang kami temukan pada rekomendasi tersebut. Misalnya, panduan Isi Piringku dari Kemenkes hanya membahas aspek kesehatan. Padahal, rekomendasi diet perlu mencakup berbagai aspek, termasuk keberlanjutan. SELARAS melengkapi rekomendasi diet dari Kemenkes dengan mempertimbangkan lingkungan. Sedangkan rekomendasi diet dari luar negeri sifatnya global. Kami mencoba membuat dalam konteks lokal sehingga lebih relevan dengan masyarakat Indonesia,” kata Jaqualine Wijaya, CEO dan Co-founder Eathink.
Dionysius Subali, dosen Sport Nutrition di Fakultas Bioteknologi Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, berpendapat, SELARAS merupakan panduan yang unik serupa paket lengkap. “Tidak hanya mendorong kita mengonsumsi makanan sehat, tetapi juga memastikan prinsip keberlanjutan pangan. Bukan hanya memikirkan sehat untuk sekarang, tetapi juga sehat di masa depan. Dengan memikirkan aspek lingkungan, makanan sehat itu akan terus tersedia bagi generasi selanjutnya.”
Seperti apa, ya, panduan praktis dalam SELARAS ini?
Seimbang: tidak harus gizi lengkap dalam satu kali makan
Untuk aspek ini, Eathink mengacu pada prinsip Isi Piringku. Dalam satu piring, setengahnya diisi sayur dan buah, sementara setengahnya lagi diisi sumber protein, karbohidrat, dan lemak. Hanya saja, dalam SELARAS, aspek ‘Seimbang’ dibuat lebih fleksibel.
“Sering kali orang ragu untuk menerapkan makan sehat, karena mereka berpikir kandungan gizi di setiap makan harus langsung lengkap. Tidak harus begitu, kok. Kita jangan lihat dari satu piring atau satu kali makan saja. Yang penting, kebutuhan gizi kita dalam satu hari terpenuhi dan kita bisa konsisten menerapkannya dalam jangka panjang,” kata Jaqualine.
Ia contohkan, jika pada siang hari Anda sudah menyantap nasi padang, snack sore sebaiknya bukan gorengan. Meskipun dalam nasi padang biasanya sudah ada sayuran, jumlahnya masih kurang. Ia menyarankan Anda untuk ngemil buah saja.
Dengan prinsip tersebut, ia berpandangan, sesekali menikmati junk food atau makanan kategori Ultra Processed Food (UPF), tidak masalah. Tapi, kuncinya adalah sesekali. Dengan prinsip ‘Seimbang’ ini, kita bisa mengonsumsi makanan apa pun yang diinginkan, tanpa harus pantang makanan tertentu. “Hanya saja, junk food dan UPF akan berdampak buruk terhadap kesehatan, jika dikonsumsi berlebihan. Boleh dikonsumsi, tapi dibatasi, misalnya sebulan sekali,” kata Jaqualine, yang lebih memilih nasi padang ketimbang junk food.
Sementara itu, Dion menyarankan agar kita mengenali kebutuhan gizi diri sendiri berdasarkan aktivitas fisik harian. Karena, aktivitas tersebut bisa berpengaruh terhadap keseimbangan. “Orang yang lebih banyak bekerja di kantor lebih baik mengonsumsi banyak buah dan sayur, bukan karbohidrat. Karena, kebutuhan karbohidratnya tidak banyak. Kebutuhan gizi seperti ini menjadi seimbang bagi dia. Sementara itu, seimbang bagi orang yang banyak beraktivitas berat, akan berbeda lagi. Seimbang pada orang tersebut berarti banyak mengonsumsi karbohidrat.”
Lokal: murah dan mudah didapat
Dion menegaskan soal pentingnya memahami konsumsi produk lokal. “Banyak orang tidak berpikir sampai ke arah sana, bahwa memilih pangan lokal bisa membuat pangan tersebut sustain dalam jangka panjang, bahwa memilih produk impor bisa memperparah dampak pemanasan global dan menciptakan jejak karbon. Jangan sampai kitanya sehat, tapi alamnya tidak sehat,” kata Dion, yang senang menyantap pisang ambon.
Menurut Jaqualine, bahan makanan di negara tropis, seperti Indonesia, jauh lebih bernutrisi dibandingkan di negara bukan tropis. Namun, karena kita sering membaca rekomendasi diet dari negara barat, maka referensi kita jadi mengarah pada bahan makanan impor, seperti kiwi dan salmon.
“Kita bisa, kok, temukan banyak makanan lokal yang nilai gizinya setara dengan produk impor. Misalnya, kandungan omega-3 dalam ikan kembung bahkan lebih tinggi daripada salmon. Hanya saja, karena lokal dan murah, maka sering kali justru tidak dipandang. Padahal, kita punya hidden gem. Sebutlah ubi ungu yang tinggi antioksidan. Juga sorgum yang padat gizi,” kata Jaqualine.
Ia menyebutkan banyak opsi pangan lokal yang tersedia di sekitar kita. Harganya murah, nutrisinya baik, dan sangat mudah diakses. Di setiap daerah pasti ada bahan makanan lokal, yang bisa memenuhi kebutuhan nutrisi masyarakat, tanpa harus bergantung pada pangan impor. “Papua punya sagu. Orang yang tinggal di pesisir punya kemewahan makan ikan setiap hari.”
Tempe yang sangat Indonesia pun punya kandungan gizi setara daging sapi. Kok, bisa? Protein nabati pada umumnya tidak memiliki kandungan vitamin B12, yang terdapat pada daging. Menariknya, ketika kedelai difermentasi dalam proses pembuatan tempe, vitamin B12 itu pun terbentuk pada tempe. Itulah kenapa tempe disebut-sebut bisa menggantikan daging, dan harganya jauh lebih murah.
Alami: tak meracuni diri dalam jangka panjang
Ada dua hal yang dipertimbangkan dalam aspek ‘Alami’. Pertama, apakah bahan makanannya diproduksi secara alami. Misalnya, petani tidak menggunakan pestisida dan pupuk dari bahan kimia. “Terdapat beberapa sertifikasi yang menunjukkan bahwa suatu bahan pangan diproduksi secara alami, misalnya organik, free range, dan grass fed,” kata Jaqualine.
Kedua, apakah menggunakan bahan alami saat proses pengolahan makanan. Seandainya memasak sendiri, kita akan tahu apa saja yang kita masukkan ke dalam masakan. “Masalahnya, kita tidak tahu bahan apa yang digunakan dalam makanan yang kita beli di sebuah tempat makan dan dalam makanan kemasan. Biasanya, makanan kemasan sudah mengandung banyak bahan tambahan pangan sintetis, termasuk pewarna, perasa, dan pengawet.”
Dion mencontohkan sosis, yang disebutnya tidak alami lagi, karena mengandung banyak bahan tambahan pangan dan terbilang tinggi garam. Komponen dagingnya justru sedikit. “Mudahnya, prinsip ‘Alami’ ini lebih mengarah pada real food. Misalnya, mengonsumsi ayam yang kita olah sendiri, sehingga bentuk aslinya pun masih terlihat. Kalaupun ingin dijadikan berbagai olahan, kita bisa membuatnya sendiri tanpa menambahkan bahan pangan sintetis.”
Jaqualine menambahkan, jika bahan pangan tambahan tersebut dalam pengawasan BPOM, sebenarnya masih aman. Tapi, jika dikonsumsi dalam jangka panjang, dampaknya akan kurang baik bagi kesehatan kita.
Beragam: tak terpaku pada nasi
Tahukah Anda, bahwa di Indonesia terdapat 77 sumber karbohidrat dan 389 buah lokal? Banyak, ya! Artinya, selain nasi, kita punya 76 pilihan lain untuk dijadikan sumber energi.